Powered By Blogger

Monday, August 14, 2006

TENTANG "NEGARA"

Saudaraku,
kutulis surat ini dari pojok dunia, ketika udara musim gugur mulai tiba. Hati dan fikiran melayang, membanding-banding sejarah dan kekinian. Sebagian besar menjadi pertanda. Ada banyak yang kutemu, tapi sedikit yang kuragu. Selebihnya, hilang ditelan waktu. Kali ini, Ijinkan aku bercerita kepadamu tentang "negara"

Saudaraku,
Tentu saja, dahulu manusia tak mengenal istilah 'negara' sebagaimana yang kita kenal saat ini. Masyarakat suku, nomaden, kekaisaran, kerajaan, dan nation-state, datang silih berganti. Tapi, sesungguhnya muaranya adalah kepentingan dan perebutan wilayah. Juga, dibumbui oleh identitas ethnics, suku, ras, agama dan kelompok-kelompok berdasarkan kepentingan bersama.

Yang tidak kumengerti adalah semua peristiwa itu ditandai oleh penyetoran nyawa, darah, air mata dan kerugian lain yang tiada terperi. Yang tidak kumengerti adalah 'kenapa untuk itu semua manusia rela menyetor jutaan nyawa'. Dan manusia modern, ironisnya, tak pernah belajar dari sejarah dan selalu mengulang-ngulang kebodohannya dengan merusak dunia-nya sendiri. Mengapa 'transaksi kepentingan dunia disegala lapisan' harus dilakukan dengan menyabung nyawa, menumpahkan darah dan airmata.

Saudaraku,
Jika engkau sempat, berkelanalah ke seantero dunia. Dunia kini memudahkan manusia untuk berkelana tanpa harus meninggalkan tempat duduknya. Apalagi jika engkau mendayagunakan panca-inderamu dengan kemampuan maksimal, plus kombinasi pikiran dan kalbu-mu akan menghantar engkau ke yang sejati itu.

Manusia bertarung habis-habisan di daratan eropa memperebutkan sejumput wilayah. Ironisnya, ingatan pendek sirna, dan tersadar untuk kemudian berusaha menata kembali menjadi satu eropa. Kawasan Balkan, sebagian Asia, hampir semua Afrika mengikuti sejarah, bercerai porak poranda. Dan dimasa datang, mencoba bersatu kembali.

Saudaraku,
Dunia, sering dikapling seenaknya seolah milik nenek-moyangnya. Dan manusia terkubur didalamnya.Tapi, itulah realita agar kita bisa meng-hikmati-nya dan tidak larut didalamnya.
Sejarah dan realitas negara kini adalah menu di meja makan kita, tapi kita punya akal dan kalbu untuk 'mengolahnya'. Hingga kita dapat memilih untuk tidak tenggelam dalam 'kegelapan' dan lari ke 'cahaya'.

No comments: