Powered By Blogger

Thursday, July 19, 2007

Kolom emha: Dicari, Pejuang Lumpur!

DICARI: PEJUANG LUMPUR*
by Emha Ainun Nadjib a.k.a CAk Nun (Gatra,12-18 Juli 2007)

Penanganan korban lumpur di Sidoarjo sangat ruwet dan licin. Namun
kesengsaraan mereka tak perlu dipaparkan di sini. Karena mereka tidak
punya sisa kekuatan mental lagi untuk menemukan kenyataan bahwa orang
lain - manusia atau negara - tidak tersentuh oleh derita mereka. Setahun
lebih mereka terkapar. Proses penyelesaian bertele-tele. Segala
persyaratan yang berganti-ganti telah mereka penuhi, tapi yang menimpa
mereka tetap kebohongan, manipulasi, pemanfaatan, eksploitasi, dan
keangkuhan.

Maka, saya ingin membuka tulisan ini dengan kegembiraan, dan nanti
menutupnya juga semoga dengan kegembiraan.
Saya tidak punya keberanian memimpin suatu gerombolan untuk memusuhi
gerombolan lain, menuding-nuding dan memaki-makinya. Saya bertanya
kepada jamaah di forum Bangbang Wetan di Surabya, Padangbulan Jombang,
Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, dan Mocopat Syafaat
Yogya: "Apakah untuk menemani korban lumpur Sidoarjo saya diizinkan
memusuhi Lapindo?"
Mereka tidak mengizinkan.

“Bolehkah saya tidak hanya mencintai para korban lumpur, melainkan juga
mencintai semua manusia di Lapindo dan Minarak?”
Mereka menjawab: "Wajib."

Beberapa hari sesudah presiden balik dari ngantor di Sidoarjo, saya
dihubungi pengungsi di Pasar Porong dan 16 pengusaha pemilik pabrik yang
juga tenggelam. Saya me-"rekayasa" agar Menkominfo diperintahkan
presiden untuk segera ke Surabaya, saya ajak menemui dua kelompok itu.
Kami berunding tiga jam dan menyepakati suatu formula: "Forum ini bukan
kelompok A dan B dan C yang saling berhadapan karena kemauannya
berbeda-beda, melainkan kita, satu tim gabungan yang bersama-sama
berikhtiar mencari formula untuk kemaslahatan bersama.”

A, B, dan C itu termasuk Lapindo dan Minarak. Saya bertemu dan
mempertemukan semua pihak. Ketika di tengah keruwetan perundingan saya
mengeluh, "Nanti akan ada batas bahwa saya tidak punya kemampuan lagi
menyangga amanat ini, mohon jangan kecewa kalau saya menarik diri." Saya
memperoleh jawaban sama. Korban yang mengamanati saya berkata: "Tolong
jangan tinggalkan kami, kami semua ingin semua ini cepat selesai." Andi
Darussalam, ujung tombak Minarak yang ditugasi Lapindo berurusan ke
korban, juga menjawab: "Tolong jangan tinggalkan kami, kami semua ingin
semua ini cepat selesai."

Sehabis pertemuan dengan Lapindo di Jakarta, direktur operasionalnya
bersama saya ke Sidoarjo, untuk saya pertemukan dengan korban. Terjadi
kesepakatan "ajaib" soal ketegasan pembayaran, meskipun sebelumnya orang
inilah yang paling dibenci oleh korban. Tengah-tengah saya mengetik
tulisan ini demi Tuhan si dirops ini menelepon saya, setelah sebelumnya
selalu telepon saya sehari dua-tiga kali, sebagaimana teman-teman korban
juga selalu update perkembangan kalau saya sedang tidak bersama mereka:
"Cak, saya akan terus kasih laporan, pokoknya kesepakatan itu kita
laksanakan. Cak Nun undang saya dong ke forum-forum Cak Nun supaya ikut
belajar."

Dari "wacana" itu seolah-olah urusan korban lumpur terbuka jalannya
untuk terselesaikan. Seolah-olah. Karena sampai detik saya menulis ini,
pelaksanaan pembayaran yang sudah disepakati itu tetap saja belum
terlaksana.

Yang mestinya dibayar sesudah presiden ngantor adalah bisa 163 hasil
verifikasi timnas yang sekarang sudah dibubarkan, sehingga semua
berjumlah 522, tapi belum terealisasi. Sampai detik saya menulis ini (9
Juli), hasil verifikasi BPLS - sebanyak 400 - hanya 38 yang diterima
oleh Minarak Lapindo, padahal bupati per hari menandatangani 1.010 surat
verifikasi. Berarti, kondisi pra-presiden ngantor tetap berlangsung:
Minarak Lapindo masih "berperan" dalam verifikasi, hasil verifikasi BPLS
(Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) yang sudah ditandatangani oleh
Bupati Sidoarjo pun masih tidak membuat korban menerima pembayaran.
Hal itulah yang dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007 membuat presiden
memukul meja, berdiri, sambil menggenggam lembar surat contoh hasil
verifikasi dengan lima tanda tangan - termasuk bupati - tapi tetap tidak
dibayar, dan berkata gemetar: "Saya sangat prihatin, kalau kepala Negara
prihatin, itu berarti marah!"

Padahal "ini adalah rakaat terakhir", begitu mereka menyebut tatkala
berjumpa presiden. Kalau yang ini buntu lagi, terkuburlah semua kata
yang baik: dialog, pertemuan, perundingan, pengertian, toleransi, damai,
ketertiban, negara, hukum, doa dan istighasah.
Padahal, sesudah presiden ngantor tiga hari di Sidoarjo, terdapat
progres. Pertama, kalau sebelumnya tidak ada time schedule yang jelas,
sekarang 14 September 2007 harus sudah terbayar semua. "Salam" terakhir
dari rakaat terakhir itu adalah 14 September.

Kedua, yang bertugas memverifikasi tanah dan bangunan yang harus dibayar
adalah BPLS. Lapindo tidak punya hak verifikasi. Setiap minggu minimal
1.000 KK dibayar, dan Andi Darussalam dari Lapindo menyatakan kepada
saya “Kami siap, 100 M kami siapkan setiap minggu. Saya orang Sulawesi
kelahiran Surabaya, saya ingin permasalahan saudara-saudara saya di Jawa
Timur ini segera terselesaikan.”

Ketiga, di-policy-kan pelonggaran kriteria verifikasi. Kalau tak ada
IMB-letter C-petok D-dan-seterusnya, data ITS dipakai. Kalau data ITS
tidak ada (yang ITS siap di bawah 50%), maka kesaksian warga diabsahkan
sebagai tanda memenuhi syarat untuk dibayar. Pelonggaran ini sangat
rasional dan etis, karena sebagian besar korban sudah sangat mengalah:
dari opsi ganti rugi mereka rela diubah jual-beli. Jangankan "ganti
untung" seperti yang dinyatakan oleh Pak Wapres.

Akan tetapi, sekali lagi, tak semudah itu. Kegembiraan harus dikontrol.
Yang sudah sangat gamblang saja belum terlaksana, padahal di belakang
itu masih ada kendala serius menyangkut berbeda-bedanya kemauan korban
lumpur.

Ketika berjumpa presiden bersama yang 20%, saya wajib mengungkapkan
kepada beliau: "Perwakilan 94% yang hadir di sini hatinya berjuang untuk
semua korban, meskipun kami tidak berhak menyampaikan apapun kecuali
yang kami wakili ke sini, karena teman-teman itu tidak memberi hak kami
untuk menyampaikan apa pun."

Andaikan ditanya apa pendapat saya untuk penyelesaian tuntas kasus
Lumpur di Sidoarjo, mana yang saya setuju: yang 20%, atau yang 50%, atau
yang 100%, atau yang 300% (yang diperjuangkan oleh salah seorang sahabat
saya), bahkan 500% (yang disampaikan kepadsa saya oleh salah seorang
penyimpati korban)? Mungkin saja menjawab:

"Opsi saya adalah: Lapindo menyerap, menyedot dan menyingkirkan semua
lumpur yang menggenang, memperbaiki semua rumah, pabrik dan fasilitas
umum yang rusak menjadi sebagaimana semula, serta mengembalikan seluruh
dimensi lingkungan hidup menjadi seperti sebelum ada lumpur. Bagi saya,
500% pun tak cukup, apalagi sekadar DP 20%. Sebab ini bukan hanya
masalah jasad rumah dan lingkungan hidup, melainkan juga masalah sosial
budaya, sedumuk bathuk senyari bumi, sejarah peradaban lokal mereka,
ketenteraman hidup, komunitas ketuhanan, dan berbagai dimensi lain yang
sama sekali tak bisa diterjemahkan menjadi angka-angka berapa pun."

Tetapi tak pernah ada yang bertanya kepada saya, 10.476 KK (sekitar
45.000), sekitar 94% dari seluruh korban, menyampaikan surat mandat
legal formal berkekuatan hukum kepada saya untuk menyampaikan
kesengsaraan mereka kepada - tidak bertanya apa-apa tentang itu kepada
saya. Para pengungsi yang tinggal di Pasar Porong yang memandatkan juga
dengan opsi DP 50%, juga Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Sidoarjo,
GPKLS, 16 perusahaan/pabrik dengan 1.700 buruh, pun tak bertanya kepada
saya. Mereka hanya menyampaikan, dan saya hanya meneruskan isi
penyampaian mereka itu.

Sudah pasti yang lain yang opsinya cash & carry 100%, kelompok lain lagi
yang menuntut relokasi, yang memang tidak mengamanati saya untuk hal apa
pun - tentulah juga tak akan menanyakan apa-apa kepada saya. Seorang
tokoh nasional yang memimpin kelompok opsi 100% berdemo di Jakarta,
menelepon saya: "Apakah salah kalau saya memperjuangkan ganti rugi 100%
untuk mereka?" Saya jawab: "Sama sekali tidak salah." Andaikan
pertanyaannya berbunyi "Benarkah kalau saya memperjuangkan 100% untuk
mereka?", jawaban saya tentu: "Benar." Tetapi, sekali lagi, karena
pertanyaan itu tidak disusul dengan pertanyaan tentang apa pendapat saya
tentang 20%-50%-100% atau 300%-500%, maka saya pun tidak punya hak untuk
berkata apa-apa tentang itu.

Saya terus-menerus berusaha mengingat-ingat kelemahan dan keterbatasan
saya, juga menjaga diri jangan sampai lupa bahwa setiap opsi adalah
total hak para korban, dan bukan hak saya. Bahkan setiap kelompok yang
menghubungi dan memandati saya sama sekali tidak saya tanyai apa opsi
mereka.

Sejak awal kontak, saya katakan kepada mereka bahwa saya orang kecil
biasa seperti sampeyan semua, tidak punya kekuasaan dan bukan pejuang.
Yang saya upayakan adalah menyampaikan amanat atau mandat, apapun
bunyinya. Saya juga tidak berani memberi janji apa pun, apalagi hasil
yang berupa Lapindo membayar mereka. Saya tidak punya kekuatan dan
keberanian untuk mempengaruhi mereka. Saya berusaha sangat menahan hati
dan mulut saya pada posisi bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas semua
masalah Lumpur ini. Hanya ada sedikit kewajiban, sebatas mandat yang
mereka berikan, selebihnya subjek utama dalam permasalahan ini adalah
para korban, Lapindo dan Minarak serta pemerintah.

Karena itu, tulisan ini harus mengutamakan kenyataan bahwa semua
penduduk korban lumpur benar-benar membutuhkan pejuang. Saya hanya
penyampai amanat, dan itu sama sekali tidak cukup bagi keperluan
perjuangan untuk pemenuhan hak-hak mereka. Sejak sebelum mereka
mengamanati saya maupun setelah amanat itu disampaikan, berkali-kali
saya menyampaikan kepada mereka bahwa mereka memerlukan pejuang. Dan
saya merekomendasikan satu-dua nama tokoh nasional - berdasarkan
pernyataan atau tulisan di media massa - untuk tampil memimpin
perjuangan korban lumpur, sampai bisa dicapai ganti rugi 500% atau
sekurang-kurangnya 300%.

Para korban lumpur sungguh-sungguh perlu mengamanatkan masalah mereka
kepada pejuang sejati di tanah air ini. Sekurang-kurangnya karena dua hal.
Pertama, para pejuang sejati pasti memahami medan perang dengan segala
konstelasinya. Mengerti kekuatan dan kelemahan diri dan pihak yang
"diserbu" oleh perjuangan itu. Beliau-beliau pasti punya data tentang,
misalnya, PT Energi Mega Persada, keuangan Lapindo, yang sampai saat ini
sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp. 1,8 trilyun. Juga segala sesuatu
tentang setting perusahaan itu, termasuk kekuatan modal, politik, dan
kulturalnya, sehingga setiap langkah perjuangan bisa terukur dengan akurat.

Para pejuang haqqul yaqin 'ainulyaqin mengerti kesiapan ilmiah dan
fakta-fakta hukum mengenai semburan lumpur yang ada di tangan Lapindo.
Itulah sebabnya, Lapindo berani mengganti klausul ganti rugi menjadi
jual-beli. Lapindo tidak meletakkan penanganan akibat Lumpur ini sebagai
kewajiban, melainkan sebagai solidaritas dan tolong-menolong kemanusiaan.
Kedua, para pejuang pasti memiliki jiwa kepemimpinan sejati, pasti
berhati seluas alam semesta untuk lebih mendengarkan orang yang
diperjuangkannya dibandingkan bila ia menggiring orang-orang yang
diperjuangkannya untuk mendengarkan pendapatnya.

Terhadap semua komplikasi dan kebuntuan lumpur ini, saya memikirkan dan
menemukan dua macam formula lagi pasca-Cikeas, tapi itu hanya kuat jika
muncul dari para pejuang.[]

No comments: