Powered By Blogger

Monday, October 13, 2014

Memprioritaskan Pencegahan Korupsi

Ketika SDA ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait pengelolaan dana haji, ingatan melayang kepada KH Mustofa Bisri. Dalam tweet-nya, kyai kharismatis NU ini pernah menulis, ““Aku sangat anti korupsi dan berpendapat koruptor harus dihukum seberat-beratnya; tapi aku tidak merasa gembira jika ada yang tersangka korupsi “.
Ucapan ini amat menyentuh dan dalam maknanya. Pendapat ini sepertinya diamini oleh begitu banyak orang. Bukan karena masyarakat bersimpati terhadap para tersangka korupsi, tapi lebih kepada penyesalan mengapa harus terus terjadi korupsi. Pikiran awam ditohok begitu banyak ketidak-mengertian. Begitu sulitkah memberantas korupsi? Sebegitu banyakkah orang “bercita-cita” menjadi koruptor? Sungguh sulitkah mencegah korupsi ? separah itukah kondisi korupsi negeri ini sehingga amat sulit di-sirna-kan? So, What went wrong?
Di negeri manapun, korupsi adalah momok mengkhawatirkan. Tak ada satupun negara, kebal dari korupsi. Skalanya saja yang berbeda. Isu ini begitu menyita perhatian. Hampir sepadan gaungnya dengan isu pemberantasan kemiskinan. Tak heran, komunitas internasional mencoba bergerak lebih jauh dan sistematis untuk memerangi korupsi. Bahkan, melalui organisasi multilateral seperti OECD, UN, World Bank dan lainnya, langkah maupun rekomendasi disusun dan dipadukan.  
Catat saja, sejak tahun 1998 sampai 2011, 38 negara meratifikasi the OECD’s anti-bribery convention. Pada akhir tahun 2005, giliran PBB menelurkan the UN Convention against corruption. Tak mau ketinggalan, World Bank meluncurkan World Bank Group Engagement on Governance and Anti Corruption (Olken and Pande, 2011). Toh, korupsi masih terjadi.
Mungkin, saking jengkelnya dengan maraknya korupsi maka secara sinis, Shabir dan Anwar (2011) menyebut bahwa korupsi itu muncul, terlihat dan terjadi ketika institusi bernama pemerintah didirikan dan dilahirkan. Tentu saja, anggapan seperti ini terlalu berlebihan. Institusi dan administrasi pemerintahan tak bisa sepenuhnya disalahkan.
Di Indonesia sendiri, perasaan jengkel yang berpadu dengan semangat pemberantasan korupsi telah melahirkan KPK. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah berujar bahwa KPK ini ibarat pemain sepakbola cadangan. Ia “dipaksa” turun bermain, karena para pemain inti tidak – atau kurang – bermain optimal. Jika sejak dulu para pemain inti bermain cantik membobol “gawang korupsi”, KPK tak perlu dilahirkan.
Sayangnya, setelah lebih dari 1 dekade para pemain cadangan ‘menari-nari’ di lapangan korupsi, para pemain inti masih terlihat kurang gairah menjadi anggota kesebelasan utama. Para pemain inti seperti menikmati duduk di bangku cadangan. Entah karena kepiawaian pemain cadangan mempertontonkan kemampuannya atau karena pemain inti yang kurang optimal bermain baik dan masih dihinggapi perasaan sungkan birokrasi kesebelasan pemerintahan.
Perasaan ewuh-pakewuh tak bisa dipandang sepele. Hal ini kerap-kali menahan laju dan kelincahan para pemain inti. Ketergantungan dan kesungkanan untuk bermain secara lugas terlihat jelas. Contoh mutakhir adalah penanganan kasus Videotron yang melibatkan anak menteri. Dalam persepsi publik, pemain inti terlihat seperti ragu bertindak. Untung saja, terdakwa yang dikorbankan dan Majelis Hakim berteriak.
Namun demikian, terlepas dari semua tantangan pemberantasan korupsi yang ada. Sesungguhnya ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar penindakan korupsi. Strategi penindakan yang berdiri sendiri, dengan tujuan menimbulkan efek jera, ternyata belum maksimal. Penetapan tersangka terus terjadi. Penjara, denda dan penyitaan tak membuat koruptor gentar. Bukan berarti strategi penindakan tidak optimal, tapi harus dikombinasikan dengan strategi pencegahan. Secara administrasi dan institusi, Negara ini sudah amat lengkap untuk mensukseskan program pencegahan korupsi.
Korupsi di tingkat Kementerian, tak perlu berujung pada kerugian uang Negara dan penjara. Jika saja Inspektorat Jenderal (Itjen) bertindak lebih dini. Apabila Itjen menerapkan audit, pengawasan dan pemeriksaan rutin dengan benar, temuan akan segera dikoreksi. Sayangnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa solidaritas satu corps sering membuat tim itjen memilih “kompromi”. Ujungnya hanya menulis “rekomendasi” atas ‘temuan-temuan’ saja.
Kalaupun penyimpangan atau kesalahan masih lolos di tingkat Itjen, masih ada BPKP. Lembaga ini cukup powerful karena hanya tunduk terhadap Presiden. Sehingga, lembaga ini steril dari ikatan-ikatan satu korps yang meninabobokan para pelaku korupsi. Saat ini, para auditor di BPKP ini juga bisa diandalkan. Syaratnya, mereka tidak perlu diintervensi atau diarahkan untuk ‘memaafkan’ para penyimpang on behalf of the so called government’s team.
Apabila masih lolos di level BPKP, maka masih ada the Supreme Audit Institution yakni BPK yang bisa bergerak serentak. Inilah benteng terakhir pencegahan korupsi. Lembaga ini tak terikat erat dan tunduk kepada Presiden/Pemerintahan. Pimpinannya diseleksi dan dipilih DPR. BPK hanya bertanggung-jawab kepada publik dalam melakukan tugasnya melalui anggota parlemen. Kinerja BPK dan BPKP dapat diandalkan. Audit investigatif mengenai Kasus Century misalnya, layak diapresiasi.

Diluar lembaga pencegahan diatas, Negara juga dilengkapi dengan PPATK. Setiap transaksi bisa diawasi, direkam dan diperiksa. Ketika ada transaksi yang mencurigakan dan diluar kewajaran, PPATK bisa segera bertindak dan mencegah kerusakan lebih parah. Tindakan pencegahan harus menjadi prioritas ke depan. Sehingga tak perlu lagi menambah koruptor. Beramai-ramai antri di pengadilan tipikor. Menyesaki penjara yang tidak seberapa luas itu. Bukankah lebih baik mencegah daripada menindak? Mencegah korupsi tak hanya berarti menyelamatkan uang Negara, tapi sekaligus melindungi warga negaranya dari jebakan korupsi, bukan?***

Dimuat di SKH Kontan, 26 Mei 2014   

No comments: