Powered By Blogger

Thursday, November 29, 2007

Penataan Supreme Audit Institutions

Oleh :
Iwan Nur Iswan
Policy Analyst dan Graduate Student di School of Public Policy and Administration, Carleton University, Kanada

Dalam hal kuantitas lembaga pemeriksa, Indonesia adalah juara. Setidaknya, impresi itulah yang dapat ditangkap dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK) beberapa waktu lalu. Seirama dengan pernyataan JK, Presiden SBY memperkuat sinyalemen itu dengan menyatakan, efektifitas penanganan korupsi hanya bisa sukses jika inisiatifnya datang dari 'atas ke bawah'.

Nah, ketika wacana ini muncul kembali, publik menyoroti kinerja enam lembaga pemeriksa yang bisa disebut supreme audit institutions. Keenam lembaga tersebut adalah BPK, BPKP, KPK, Irjen, Polri, dan Kejakgung. Sejak era kebebasan pers dan transparansi dimulai, hampir semua petinggi negara tersebut menjadi 'bintang' dalam setiap pemberitaan.

Dalam kasus Adelin Lis misalnya, lembaga pemeriksa yang paling repot adalah Polri dan Kejakgung. Aroma ketidakpercayaan publik terhadap keduanya terasa. Sementara BPK, akhir-akhir ini sering memberikan kejutan positif. Terutama keberaniannya dalam membeberkan temuannya kepada publik melalui media. Sebaliknya, pamor Irjen dan BPKP yang merupakan 'kepanjangan tangan' presiden dan menteri di setiap institusi birokrasi masih dipertanyakan.

Keberadaan KPK mampu menggetarkan pelaku korupsi. Menurut KPK, dalam periode 2005-2007, lembaga ini telah mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 159 milyar. Tetapi, tunggu dulu. Jangan optimis berlebihan dengan masa depan pemerintahan. Dari jumlah tersebut, hanya Rp 35 miliar yang telah disetorkan kepada negara. Angka ini tidak begitu fantantis jika merujuk pada triliunan dana yang dikorupsi.

Dalam konteks eksistensi dan kiprah lembaga pemeriksa, ada baiknya menengok kiprah sejenis di negara lain. Keberadaan lembaga pemeriksa merupakan keniscayaan di semua negara. Mandat dan tujuan lembaga ini hampir sama, yakni menata administrasi pemerintahan agar efektif, efisien, transparan, terintegrasi, dan akuntabel.

Di Cina, ada yang namanya the China National Audit Office (CNAO). Di Kanada, disebut the Auditor General of Canada (AG). Model Indonesia sendiri mirip dengan di AS, di mana jalannya administrasi pemerintahan federal 'di-jaga' oleh setidaknya 2 lembaga pemeriksa yang powerful. Pertama, the US Government Accountability Office (GAO). Dan kedua, Inspector General di setiap institusi pemerintahan. Selain itu dilengkapi oleh Auditor General di setiap negara bagian.

Jika dibandingkan, tentu banyak hal berbeda dalam bentuk dan implementasinya di setiap negara. Tetapi, ada hal menarik yang perlu dikedepankan. Di Cina, Kanada, dan AS, konsentrasi pemeriksaan tidak hanya terjadi pada aspek keuangan. Audit juga dilakukan untuk meneliti dan mengukur kinerja serta efektivitas program maupun kebijakan, termasuk di antaranya kesesuaian rencana dan pelaksaanaan.

Di Indonesia, lembaga pemeriksa fokus terhadap aspek keuangan. Ironisnya, meski institusi pemeriksa keuangan ada di setiap penjuru, administrasi pemerintahan masih berwajah 'buram'. Penyalahgunaan keuangan merajalela. Program, kebijakan, rencana, dan hasil pelaksanaan hampir tidak pernah mengalami audit berarti. Aparatur birokrasi mengalami kenaikan pangkat dan gaji secara periodik meski kinerjanya memble.

Oleh karena itu, ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu segera dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK terkait dengan ide sinkronisasi lembaga pemeriksa. Pertama, audit di luar aspek keuangan perlu segera dilakukan dengan terlebih dahulu memperluas bentuk dan mandat tugas BPK. BPK harus menjadi supreme audit institution yang sesungguhnya seperti CNAO di Cina, GAO di AS atau AG di Kanada.

Kedua, peleburan BPKP dan irjen mutlak dilakukan. Tetapi lembaga tersebut harus independen dan profesional. Fungsinya diperluas, dan harus dapat menjangkau setiap departemen. Irjen yang kini ada, kurang efektif karena terkendala oleh senioritas birokrasi dan 'kesetiakawanan'. Model irjen di AS mungkin bisa menjadi acuan untuk melangkah.

Ketiga, temuan oleh lembaga pemeriksa bisa menjadi evidence yang bisa digunakan dalam penegakan hukum melalui Polri dan Kejakgung. Penataan, penguatan, atau peleburan lembaga pemeriksa akan tetap berjalan di tempat jika tidak ditopang oleh aparat hukum yang kredibel.

Transparansi jadi kunci
Dalam upaya sinkronisasi dan penguatan kelembagaan, kiranya ada satu pelajaran penting yang perlu diketengahkan, terutama berkaitan dengan aspek transparansi tata-kelola pemerintahan. Transparansi adalah mantra dalam administrasi publik.

Ketika ketua BPK membeberkan temuannya, ingatan melayang kepada pidato David M Walker (Comptroller of the US Government Accountability Office) di depan konferensi bertajuk Enhancing Government Performance, Accountability, and Foresight, di Nanjing Audit University of Cina pada bulan Agustus 2007 lalu. Dalam kesempatan itu, ia menceritakan pertemuannya dengan PM Zhu Rongji di penghujung tahun 2001. Ketika itu, Rongji meminta saran mengenai langkah prioritas apa yang harus dilakukannya dalam memecahkan persoalan korupsi, inefisiensi, dan ketidakefektivan dalam penyelenggaran pemerintahan di Cina. Ia hanya memberi saran sederhana, "Mr Prime Minister, make the CNAO's reports public."

Dalam pidatonya, Walker juga memuji keberhasilan the CNAO dalam penertiban administrasi pemerintahan Cina. Peran Li Jinhua sebagai ketua mengagumkan. Di tahun 2003, ia disebut aktor kunci di balik audit storm di era pemerintahan PM Rongji. Badai audit ini telah membuat panas dingin aparat pemerintahan di segala level karena hasil auditnya dipublikasi luas dan menjadi alat bukti hukum yang mengantar pelakunya kepada kematian, bui, atau paling ringan dipecat atau didemosi.

Meski jalan panjang penguatan lembaga pemeriksa masih terbentang jauh, tetapi pemerintahan SBY-JK telah memulainya. Hanya, komitmen itu tidak akan berjalan jauh tanpa ada keberanian melaksanakannya.***

No comments: