Powered By Blogger

Thursday, November 29, 2007

Penataan Supreme Audit Institutions

Oleh :
Iwan Nur Iswan
Policy Analyst dan Graduate Student di School of Public Policy and Administration, Carleton University, Kanada

Dalam hal kuantitas lembaga pemeriksa, Indonesia adalah juara. Setidaknya, impresi itulah yang dapat ditangkap dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla (JK) beberapa waktu lalu. Seirama dengan pernyataan JK, Presiden SBY memperkuat sinyalemen itu dengan menyatakan, efektifitas penanganan korupsi hanya bisa sukses jika inisiatifnya datang dari 'atas ke bawah'.

Nah, ketika wacana ini muncul kembali, publik menyoroti kinerja enam lembaga pemeriksa yang bisa disebut supreme audit institutions. Keenam lembaga tersebut adalah BPK, BPKP, KPK, Irjen, Polri, dan Kejakgung. Sejak era kebebasan pers dan transparansi dimulai, hampir semua petinggi negara tersebut menjadi 'bintang' dalam setiap pemberitaan.

Dalam kasus Adelin Lis misalnya, lembaga pemeriksa yang paling repot adalah Polri dan Kejakgung. Aroma ketidakpercayaan publik terhadap keduanya terasa. Sementara BPK, akhir-akhir ini sering memberikan kejutan positif. Terutama keberaniannya dalam membeberkan temuannya kepada publik melalui media. Sebaliknya, pamor Irjen dan BPKP yang merupakan 'kepanjangan tangan' presiden dan menteri di setiap institusi birokrasi masih dipertanyakan.

Keberadaan KPK mampu menggetarkan pelaku korupsi. Menurut KPK, dalam periode 2005-2007, lembaga ini telah mampu menyelamatkan uang negara sebesar Rp 159 milyar. Tetapi, tunggu dulu. Jangan optimis berlebihan dengan masa depan pemerintahan. Dari jumlah tersebut, hanya Rp 35 miliar yang telah disetorkan kepada negara. Angka ini tidak begitu fantantis jika merujuk pada triliunan dana yang dikorupsi.

Dalam konteks eksistensi dan kiprah lembaga pemeriksa, ada baiknya menengok kiprah sejenis di negara lain. Keberadaan lembaga pemeriksa merupakan keniscayaan di semua negara. Mandat dan tujuan lembaga ini hampir sama, yakni menata administrasi pemerintahan agar efektif, efisien, transparan, terintegrasi, dan akuntabel.

Di Cina, ada yang namanya the China National Audit Office (CNAO). Di Kanada, disebut the Auditor General of Canada (AG). Model Indonesia sendiri mirip dengan di AS, di mana jalannya administrasi pemerintahan federal 'di-jaga' oleh setidaknya 2 lembaga pemeriksa yang powerful. Pertama, the US Government Accountability Office (GAO). Dan kedua, Inspector General di setiap institusi pemerintahan. Selain itu dilengkapi oleh Auditor General di setiap negara bagian.

Jika dibandingkan, tentu banyak hal berbeda dalam bentuk dan implementasinya di setiap negara. Tetapi, ada hal menarik yang perlu dikedepankan. Di Cina, Kanada, dan AS, konsentrasi pemeriksaan tidak hanya terjadi pada aspek keuangan. Audit juga dilakukan untuk meneliti dan mengukur kinerja serta efektivitas program maupun kebijakan, termasuk di antaranya kesesuaian rencana dan pelaksaanaan.

Di Indonesia, lembaga pemeriksa fokus terhadap aspek keuangan. Ironisnya, meski institusi pemeriksa keuangan ada di setiap penjuru, administrasi pemerintahan masih berwajah 'buram'. Penyalahgunaan keuangan merajalela. Program, kebijakan, rencana, dan hasil pelaksanaan hampir tidak pernah mengalami audit berarti. Aparatur birokrasi mengalami kenaikan pangkat dan gaji secara periodik meski kinerjanya memble.

Oleh karena itu, ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu segera dilakukan oleh Pemerintahan SBY-JK terkait dengan ide sinkronisasi lembaga pemeriksa. Pertama, audit di luar aspek keuangan perlu segera dilakukan dengan terlebih dahulu memperluas bentuk dan mandat tugas BPK. BPK harus menjadi supreme audit institution yang sesungguhnya seperti CNAO di Cina, GAO di AS atau AG di Kanada.

Kedua, peleburan BPKP dan irjen mutlak dilakukan. Tetapi lembaga tersebut harus independen dan profesional. Fungsinya diperluas, dan harus dapat menjangkau setiap departemen. Irjen yang kini ada, kurang efektif karena terkendala oleh senioritas birokrasi dan 'kesetiakawanan'. Model irjen di AS mungkin bisa menjadi acuan untuk melangkah.

Ketiga, temuan oleh lembaga pemeriksa bisa menjadi evidence yang bisa digunakan dalam penegakan hukum melalui Polri dan Kejakgung. Penataan, penguatan, atau peleburan lembaga pemeriksa akan tetap berjalan di tempat jika tidak ditopang oleh aparat hukum yang kredibel.

Transparansi jadi kunci
Dalam upaya sinkronisasi dan penguatan kelembagaan, kiranya ada satu pelajaran penting yang perlu diketengahkan, terutama berkaitan dengan aspek transparansi tata-kelola pemerintahan. Transparansi adalah mantra dalam administrasi publik.

Ketika ketua BPK membeberkan temuannya, ingatan melayang kepada pidato David M Walker (Comptroller of the US Government Accountability Office) di depan konferensi bertajuk Enhancing Government Performance, Accountability, and Foresight, di Nanjing Audit University of Cina pada bulan Agustus 2007 lalu. Dalam kesempatan itu, ia menceritakan pertemuannya dengan PM Zhu Rongji di penghujung tahun 2001. Ketika itu, Rongji meminta saran mengenai langkah prioritas apa yang harus dilakukannya dalam memecahkan persoalan korupsi, inefisiensi, dan ketidakefektivan dalam penyelenggaran pemerintahan di Cina. Ia hanya memberi saran sederhana, "Mr Prime Minister, make the CNAO's reports public."

Dalam pidatonya, Walker juga memuji keberhasilan the CNAO dalam penertiban administrasi pemerintahan Cina. Peran Li Jinhua sebagai ketua mengagumkan. Di tahun 2003, ia disebut aktor kunci di balik audit storm di era pemerintahan PM Rongji. Badai audit ini telah membuat panas dingin aparat pemerintahan di segala level karena hasil auditnya dipublikasi luas dan menjadi alat bukti hukum yang mengantar pelakunya kepada kematian, bui, atau paling ringan dipecat atau didemosi.

Meski jalan panjang penguatan lembaga pemeriksa masih terbentang jauh, tetapi pemerintahan SBY-JK telah memulainya. Hanya, komitmen itu tidak akan berjalan jauh tanpa ada keberanian melaksanakannya.***

Friday, November 23, 2007

Kuterima ia bernama Nadhir Ahad Sambegana

Setiap awal kehidupan, memberikan pesona. Proses kelahirannya, kuikuti dengan cukup seksama. Jerit kesakitan, upaya habis-habisan sang bunda, tersimpan rapi dalam ingatan. Untungnya, proses itu berjalan cepat dan dengan mata terpejam, lahirlah ia ke dunia.

Dari setetes air, menjadi darah, menjaid daging, membungkus tulang dan organ-organ, dan menjadilh ia bentuk sempurna sebagai manusia, meski masih bayi. Sembilan bulan diarsiteki Tuhan. Dihembuskan ruh untuk menjadi kehidupan baru. Sekarang ia, mulai pandai menangis.

Tadinya akan kuberi nama Rumi Sajili. Tetapi, maafkan saya, kedua nama itu sepertinya terlalu berat untuk disandangnya. Oleh satu alasan yang masuk akal, kuterima ia bernama: Nadhir Ahad Sambegana. Semoga menjadi nama-lah dalam kehidupannya.

Friday, November 16, 2007

Manusia, satu

Waktu, merubah segalanya
baik ke buruk
buruk ke baik
buruk ke buruk
atau baik ke baik

Waktu, bukti ketidaksempurnaan
diri, berlipat ganda
diri, berwajah seribu
diri, bersifat belas ribu

Waktu,
antara persimpangan:
kemenangan nurani
atau bisikan keburukan

antara kelokan:
kebaikan atau ketidak-baikan

antara jalan:
lurus
atau
sarat kebengkokan

waktu, menghadirkan
ajal, menghentikan
sesaat saja

(16/11/07

Thursday, July 19, 2007

Kolom emha: Dicari, Pejuang Lumpur!

DICARI: PEJUANG LUMPUR*
by Emha Ainun Nadjib a.k.a CAk Nun (Gatra,12-18 Juli 2007)

Penanganan korban lumpur di Sidoarjo sangat ruwet dan licin. Namun
kesengsaraan mereka tak perlu dipaparkan di sini. Karena mereka tidak
punya sisa kekuatan mental lagi untuk menemukan kenyataan bahwa orang
lain - manusia atau negara - tidak tersentuh oleh derita mereka. Setahun
lebih mereka terkapar. Proses penyelesaian bertele-tele. Segala
persyaratan yang berganti-ganti telah mereka penuhi, tapi yang menimpa
mereka tetap kebohongan, manipulasi, pemanfaatan, eksploitasi, dan
keangkuhan.

Maka, saya ingin membuka tulisan ini dengan kegembiraan, dan nanti
menutupnya juga semoga dengan kegembiraan.
Saya tidak punya keberanian memimpin suatu gerombolan untuk memusuhi
gerombolan lain, menuding-nuding dan memaki-makinya. Saya bertanya
kepada jamaah di forum Bangbang Wetan di Surabya, Padangbulan Jombang,
Kenduri Cinta Jakarta, Gambang Syafaat Semarang, dan Mocopat Syafaat
Yogya: "Apakah untuk menemani korban lumpur Sidoarjo saya diizinkan
memusuhi Lapindo?"
Mereka tidak mengizinkan.

“Bolehkah saya tidak hanya mencintai para korban lumpur, melainkan juga
mencintai semua manusia di Lapindo dan Minarak?”
Mereka menjawab: "Wajib."

Beberapa hari sesudah presiden balik dari ngantor di Sidoarjo, saya
dihubungi pengungsi di Pasar Porong dan 16 pengusaha pemilik pabrik yang
juga tenggelam. Saya me-"rekayasa" agar Menkominfo diperintahkan
presiden untuk segera ke Surabaya, saya ajak menemui dua kelompok itu.
Kami berunding tiga jam dan menyepakati suatu formula: "Forum ini bukan
kelompok A dan B dan C yang saling berhadapan karena kemauannya
berbeda-beda, melainkan kita, satu tim gabungan yang bersama-sama
berikhtiar mencari formula untuk kemaslahatan bersama.”

A, B, dan C itu termasuk Lapindo dan Minarak. Saya bertemu dan
mempertemukan semua pihak. Ketika di tengah keruwetan perundingan saya
mengeluh, "Nanti akan ada batas bahwa saya tidak punya kemampuan lagi
menyangga amanat ini, mohon jangan kecewa kalau saya menarik diri." Saya
memperoleh jawaban sama. Korban yang mengamanati saya berkata: "Tolong
jangan tinggalkan kami, kami semua ingin semua ini cepat selesai." Andi
Darussalam, ujung tombak Minarak yang ditugasi Lapindo berurusan ke
korban, juga menjawab: "Tolong jangan tinggalkan kami, kami semua ingin
semua ini cepat selesai."

Sehabis pertemuan dengan Lapindo di Jakarta, direktur operasionalnya
bersama saya ke Sidoarjo, untuk saya pertemukan dengan korban. Terjadi
kesepakatan "ajaib" soal ketegasan pembayaran, meskipun sebelumnya orang
inilah yang paling dibenci oleh korban. Tengah-tengah saya mengetik
tulisan ini demi Tuhan si dirops ini menelepon saya, setelah sebelumnya
selalu telepon saya sehari dua-tiga kali, sebagaimana teman-teman korban
juga selalu update perkembangan kalau saya sedang tidak bersama mereka:
"Cak, saya akan terus kasih laporan, pokoknya kesepakatan itu kita
laksanakan. Cak Nun undang saya dong ke forum-forum Cak Nun supaya ikut
belajar."

Dari "wacana" itu seolah-olah urusan korban lumpur terbuka jalannya
untuk terselesaikan. Seolah-olah. Karena sampai detik saya menulis ini,
pelaksanaan pembayaran yang sudah disepakati itu tetap saja belum
terlaksana.

Yang mestinya dibayar sesudah presiden ngantor adalah bisa 163 hasil
verifikasi timnas yang sekarang sudah dibubarkan, sehingga semua
berjumlah 522, tapi belum terealisasi. Sampai detik saya menulis ini (9
Juli), hasil verifikasi BPLS - sebanyak 400 - hanya 38 yang diterima
oleh Minarak Lapindo, padahal bupati per hari menandatangani 1.010 surat
verifikasi. Berarti, kondisi pra-presiden ngantor tetap berlangsung:
Minarak Lapindo masih "berperan" dalam verifikasi, hasil verifikasi BPLS
(Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) yang sudah ditandatangani oleh
Bupati Sidoarjo pun masih tidak membuat korban menerima pembayaran.
Hal itulah yang dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007 membuat presiden
memukul meja, berdiri, sambil menggenggam lembar surat contoh hasil
verifikasi dengan lima tanda tangan - termasuk bupati - tapi tetap tidak
dibayar, dan berkata gemetar: "Saya sangat prihatin, kalau kepala Negara
prihatin, itu berarti marah!"

Padahal "ini adalah rakaat terakhir", begitu mereka menyebut tatkala
berjumpa presiden. Kalau yang ini buntu lagi, terkuburlah semua kata
yang baik: dialog, pertemuan, perundingan, pengertian, toleransi, damai,
ketertiban, negara, hukum, doa dan istighasah.
Padahal, sesudah presiden ngantor tiga hari di Sidoarjo, terdapat
progres. Pertama, kalau sebelumnya tidak ada time schedule yang jelas,
sekarang 14 September 2007 harus sudah terbayar semua. "Salam" terakhir
dari rakaat terakhir itu adalah 14 September.

Kedua, yang bertugas memverifikasi tanah dan bangunan yang harus dibayar
adalah BPLS. Lapindo tidak punya hak verifikasi. Setiap minggu minimal
1.000 KK dibayar, dan Andi Darussalam dari Lapindo menyatakan kepada
saya “Kami siap, 100 M kami siapkan setiap minggu. Saya orang Sulawesi
kelahiran Surabaya, saya ingin permasalahan saudara-saudara saya di Jawa
Timur ini segera terselesaikan.”

Ketiga, di-policy-kan pelonggaran kriteria verifikasi. Kalau tak ada
IMB-letter C-petok D-dan-seterusnya, data ITS dipakai. Kalau data ITS
tidak ada (yang ITS siap di bawah 50%), maka kesaksian warga diabsahkan
sebagai tanda memenuhi syarat untuk dibayar. Pelonggaran ini sangat
rasional dan etis, karena sebagian besar korban sudah sangat mengalah:
dari opsi ganti rugi mereka rela diubah jual-beli. Jangankan "ganti
untung" seperti yang dinyatakan oleh Pak Wapres.

Akan tetapi, sekali lagi, tak semudah itu. Kegembiraan harus dikontrol.
Yang sudah sangat gamblang saja belum terlaksana, padahal di belakang
itu masih ada kendala serius menyangkut berbeda-bedanya kemauan korban
lumpur.

Ketika berjumpa presiden bersama yang 20%, saya wajib mengungkapkan
kepada beliau: "Perwakilan 94% yang hadir di sini hatinya berjuang untuk
semua korban, meskipun kami tidak berhak menyampaikan apapun kecuali
yang kami wakili ke sini, karena teman-teman itu tidak memberi hak kami
untuk menyampaikan apa pun."

Andaikan ditanya apa pendapat saya untuk penyelesaian tuntas kasus
Lumpur di Sidoarjo, mana yang saya setuju: yang 20%, atau yang 50%, atau
yang 100%, atau yang 300% (yang diperjuangkan oleh salah seorang sahabat
saya), bahkan 500% (yang disampaikan kepadsa saya oleh salah seorang
penyimpati korban)? Mungkin saja menjawab:

"Opsi saya adalah: Lapindo menyerap, menyedot dan menyingkirkan semua
lumpur yang menggenang, memperbaiki semua rumah, pabrik dan fasilitas
umum yang rusak menjadi sebagaimana semula, serta mengembalikan seluruh
dimensi lingkungan hidup menjadi seperti sebelum ada lumpur. Bagi saya,
500% pun tak cukup, apalagi sekadar DP 20%. Sebab ini bukan hanya
masalah jasad rumah dan lingkungan hidup, melainkan juga masalah sosial
budaya, sedumuk bathuk senyari bumi, sejarah peradaban lokal mereka,
ketenteraman hidup, komunitas ketuhanan, dan berbagai dimensi lain yang
sama sekali tak bisa diterjemahkan menjadi angka-angka berapa pun."

Tetapi tak pernah ada yang bertanya kepada saya, 10.476 KK (sekitar
45.000), sekitar 94% dari seluruh korban, menyampaikan surat mandat
legal formal berkekuatan hukum kepada saya untuk menyampaikan
kesengsaraan mereka kepada - tidak bertanya apa-apa tentang itu kepada
saya. Para pengungsi yang tinggal di Pasar Porong yang memandatkan juga
dengan opsi DP 50%, juga Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Sidoarjo,
GPKLS, 16 perusahaan/pabrik dengan 1.700 buruh, pun tak bertanya kepada
saya. Mereka hanya menyampaikan, dan saya hanya meneruskan isi
penyampaian mereka itu.

Sudah pasti yang lain yang opsinya cash & carry 100%, kelompok lain lagi
yang menuntut relokasi, yang memang tidak mengamanati saya untuk hal apa
pun - tentulah juga tak akan menanyakan apa-apa kepada saya. Seorang
tokoh nasional yang memimpin kelompok opsi 100% berdemo di Jakarta,
menelepon saya: "Apakah salah kalau saya memperjuangkan ganti rugi 100%
untuk mereka?" Saya jawab: "Sama sekali tidak salah." Andaikan
pertanyaannya berbunyi "Benarkah kalau saya memperjuangkan 100% untuk
mereka?", jawaban saya tentu: "Benar." Tetapi, sekali lagi, karena
pertanyaan itu tidak disusul dengan pertanyaan tentang apa pendapat saya
tentang 20%-50%-100% atau 300%-500%, maka saya pun tidak punya hak untuk
berkata apa-apa tentang itu.

Saya terus-menerus berusaha mengingat-ingat kelemahan dan keterbatasan
saya, juga menjaga diri jangan sampai lupa bahwa setiap opsi adalah
total hak para korban, dan bukan hak saya. Bahkan setiap kelompok yang
menghubungi dan memandati saya sama sekali tidak saya tanyai apa opsi
mereka.

Sejak awal kontak, saya katakan kepada mereka bahwa saya orang kecil
biasa seperti sampeyan semua, tidak punya kekuasaan dan bukan pejuang.
Yang saya upayakan adalah menyampaikan amanat atau mandat, apapun
bunyinya. Saya juga tidak berani memberi janji apa pun, apalagi hasil
yang berupa Lapindo membayar mereka. Saya tidak punya kekuatan dan
keberanian untuk mempengaruhi mereka. Saya berusaha sangat menahan hati
dan mulut saya pada posisi bahwa saya tidak punya hak apa-apa atas semua
masalah Lumpur ini. Hanya ada sedikit kewajiban, sebatas mandat yang
mereka berikan, selebihnya subjek utama dalam permasalahan ini adalah
para korban, Lapindo dan Minarak serta pemerintah.

Karena itu, tulisan ini harus mengutamakan kenyataan bahwa semua
penduduk korban lumpur benar-benar membutuhkan pejuang. Saya hanya
penyampai amanat, dan itu sama sekali tidak cukup bagi keperluan
perjuangan untuk pemenuhan hak-hak mereka. Sejak sebelum mereka
mengamanati saya maupun setelah amanat itu disampaikan, berkali-kali
saya menyampaikan kepada mereka bahwa mereka memerlukan pejuang. Dan
saya merekomendasikan satu-dua nama tokoh nasional - berdasarkan
pernyataan atau tulisan di media massa - untuk tampil memimpin
perjuangan korban lumpur, sampai bisa dicapai ganti rugi 500% atau
sekurang-kurangnya 300%.

Para korban lumpur sungguh-sungguh perlu mengamanatkan masalah mereka
kepada pejuang sejati di tanah air ini. Sekurang-kurangnya karena dua hal.
Pertama, para pejuang sejati pasti memahami medan perang dengan segala
konstelasinya. Mengerti kekuatan dan kelemahan diri dan pihak yang
"diserbu" oleh perjuangan itu. Beliau-beliau pasti punya data tentang,
misalnya, PT Energi Mega Persada, keuangan Lapindo, yang sampai saat ini
sudah mengeluarkan biaya sekitar Rp. 1,8 trilyun. Juga segala sesuatu
tentang setting perusahaan itu, termasuk kekuatan modal, politik, dan
kulturalnya, sehingga setiap langkah perjuangan bisa terukur dengan akurat.

Para pejuang haqqul yaqin 'ainulyaqin mengerti kesiapan ilmiah dan
fakta-fakta hukum mengenai semburan lumpur yang ada di tangan Lapindo.
Itulah sebabnya, Lapindo berani mengganti klausul ganti rugi menjadi
jual-beli. Lapindo tidak meletakkan penanganan akibat Lumpur ini sebagai
kewajiban, melainkan sebagai solidaritas dan tolong-menolong kemanusiaan.
Kedua, para pejuang pasti memiliki jiwa kepemimpinan sejati, pasti
berhati seluas alam semesta untuk lebih mendengarkan orang yang
diperjuangkannya dibandingkan bila ia menggiring orang-orang yang
diperjuangkannya untuk mendengarkan pendapatnya.

Terhadap semua komplikasi dan kebuntuan lumpur ini, saya memikirkan dan
menemukan dua macam formula lagi pasca-Cikeas, tapi itu hanya kuat jika
muncul dari para pejuang.[]

Tuesday, April 17, 2007

DUKA: Dari Broadway ke Virginia Tech.

Jalanan itu ramai, meski hujan
tertumpah dari langit
Lautan manusia
dengan ujung payung dikepalanya
di tepian Broadway
hidup seperti tiada duka

Jalanan itu ramai, meski hujan
keramaian berganti duka
air mata mengalir deras
bumi berkabung menyampaikan duka
di tepian Virginia Tech
hidup diselimuti duka

kulit berbeda
keyakinan beragam
politik perkubuan
identitas diagungkan
perang tanding global
kepentingan bertabrakan
Tetapi,
di Virginia Tech
Duka mengalahkan segalanya
lautan manusia
mengibarkan bendera duka
tidak hanya disana
tapi duka juga terasa
di dalam dada

Ditepian Broadway
Keramaian semu
Duka yang ada

Pelataran Manhattan, 17/04/07

------------
"Ijinkan kuucapkan: belasungkawa! Duka dan kesedihanmu dukaku jua"

Thursday, April 12, 2007

"MATEMATIKA ILLAHIAH TUKUL"

Hidup dan kehidupan sering menghadirkan kejutan-kejutan. Kadang-kadang, untuk menyederhanakan persoalan maka sebagian orang menyebutnya dengan singkat saja. Itulah yang namanya kebetulan. Siapa yang akan menyangka bahwa istri atau suami salah satu sahabat, teman, atau kerabat adalah bukan siapa-siapa dalam lintasan hidupnya. Tiba-tiba saja, tersadar, keduanya telah disatukan dalam pelaminan. Menghadirkan anak-anak yang lucu.

Dilain waktu, orang tersadar telah berada pada satu waktu, satu tempat atau ruang dengan posisi, status atau kedudukan sosial tertentu. Padahal sebelumnya, segala hal itu tak pernah sedikitpun terbayangkan bahkan beberapa diantaranya agak-agak takut membayangkannya. Tapi, kehidupan menghadirkannya dengan sangat menakjubkan. Sayangnya, sebagian besar orang terlelap dan luput merenungkannya.

Tukul arwana adalah ilustrasi menarik dari kejutan kehidupan. Bagi sementara orang, terutama yang menjadi penganut matematika dunia alias hitungan diatas kertas. Orang hanya akan yang bisa "berhasil' dalam hidupnya, jika ia pintar. Lambang yang paling ironis sering dijadikan pegangan adalah 'selesainya' atau tertibnya pendidikan yang dilaluinya. Tukul Arwana -- dengan ijin Maha Kuasa -- membantah matematika dunia. Matematika Illahiah berfungsi maksimal kepada Tukul Arwana. dengan gelar pendidikan terbatas, Tukul menerobos sekat kehidupan dan oleh Tuhan dipinjami 'keberhasilan'.

Tentu saja, saya tak hendak mengatakan bahwa jika ingin berhasil tirulah Tukul dengan tidak menyelesaikan sekolahnya. Saya juga tak hendak mengatakan bahwa pendidikan tidak penting, karena Tukul pun tak perlu sekolah jika hanya ingin 'berhasil'. Setiap orang memiliki 'jalur khusus' keberhasilan. Setiap orang -- sadar atau tidak -- dihadirkan oleh Tuhan kesempatan-kesempatan. Ditengah-tengah itu, Tuhan menghadirkan juga baka-bakat, potensi-potensi dan selera plus bumbu nikmat bernama kehendak atau cita-cita. Nah, misteri besar manusia adalah kelambatan dalam menggali potensi-potensi bakat itu. Bakat juga tidak akan tumbuh subur menuju keberhasilan, karena ada metabolisme sistem eksternal yang mengepungnya. Bukankah pohon atau tanaman yang baik belum tentu tumbuh sehat jika dipendam dalam tanha yang tidak tepat. Belum lagi, jika ada serangan hama.

Nah, keberhasilan seorang Tukul Arwana bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, Tukul setia menggali potensi dirinya. Bakat melawak yang ada dalam darahnya telah disadarinya betul sehingga ia asah dengan bergabung bersama kelompok-kelompok lawat. Tetapi, kedua, kelompok lawak itu tak pernah bisa mengangkat posisi Tukul. Ketiga, momentum datang karena industri TV swasta membutuhkan program. Dan Tukul mendapat 'rejeki dari arah yang tidak disangka' menjadi Host acara "Empat MAta". Bahkan, tukul pun tak pernah membayangkan bahwa ia akan menjadi host dari sebuah acara talkshow. Ia tak punya bayangkan akan menjadi seorang Host tekenal seperti Ebet Kadarusman, Eko Patrio, atau Farhan. Bayang Tukul adalah hanya menjadi pelawak hebat seperti Gepeng dari Srimulat, leysus, Topan atau paling top cuma seperti Warkop dan Bagito. Tapi, matematika Illahiah berbeda dengan matematika Tukul atau matematika manusia sejagat. Peruntungan dan keberhasilan Tukul bukan dalam dunia lawak, tapi dunia talkshow.
Selanjutnya, menarik memperhatikan kelanjutan kisah hidup tukul babak berikutnya. Terus terang saja, ibarat petinju, dalam mengarungi ronde-ronde kehidupannya, tukul baru melewati sepertiga kehidupannya. dan Tuhan mungkin telah siap dengan kejutan-kejutan selanjutnya. Yang tidak boleh lupa adalah, manusia belajar menarik hikmah dari seorang tukul, sambil perlahan-lahan menengok sisi terdalama hidupnya sendiri. Merenungkan dari mana awalnya, dimana sesungguhnya pada masa silam, bagaimana kini, dan kemana arah kehidupan selanjutnya...........

Dan yang pasti, bersiaplah dengan berbagai kejutan kehidupan yang bersumber pada matematika Illahiah, sambil terus berpijak pada matematika dunia.

Wednesday, April 11, 2007

"Family"

Jika saja dunia mampu bercerita, atau menuliskan sejarahnya. Hasilnya adalah ironi. Peradaban adalah ironi. Sejarah adalah ironi. Pertengkarana atau peperangan juga ironi. Bahkan urusan berumah-tangga, jika tak bisa memahami ilmunya juga akan menjadi ironi. Bangunan keluarga tau family juga bisa menjadi ironi.

Saksikan saja, manusia memadu kasih. Melewati ruang dan waktu bersama. Berjanji sehidupu-semati ketika cinta masih berkobar. Tersenyum di pelaminan. Menghabiskan bulan-bulan mudah yang singkat. Tetapi, tiba-tiba saji kasih menjadi hilang. Cinta tertelan kejenuhan. Meletup pertengkaran, untuk kemudian berujung kepada perceraian. Dimanakah cinta mereka ketika amarah menorehkan luka dan kebencian dan bermuara kepada perpisahan?

Keluarga, jika tak memahami secara benar, bisa menjadi misteri. Manusia seperti sombong telah memahami pasangan hidupnya. Ketika usai pernikahan, manusia seolah terkaget-kaget dengan fenomena asing dari setiap pasangannya. Manusia kaget karena sering tak bisa menerima kekurangan pasangannya. Manusia kaget dan meminta berlebihan pengertian dan kesabaran pasangannya. Tetapi, jarang, merenungkan untuk belajar memahami kehendak dan keinginan pasangannya. Ironis bukan. Jika ini terus diawetkan dalam hubungan keluarga, maka bersiaplah menyongsong 'prahara keluarga'. Alih-alih meraih keluarga sakinah, malah sebaliknya yang diperoleh.

Manusia berduyun-duyun menuju pelaminan. Dengan ilmu kosong tanpa nilai dan pemahaman. Manusia menjadikan 'family' sebuah rutinitas alamiah peradaban. Manusia menjadikan rumah tangga seperti pabrik-pabrik lahirnya manusia baru. Tanpa nilai-nilai untuk apa sesungguhnya keluarga dibangun. Inikah ironi zaman?

Thursday, April 05, 2007

Mencari Dia

kutengok waktu
cepat sirna

kutengok ruang
sempit terbatas

kupandang langit
seperti dekat

Kuhela nafas
ada batas

akhirnya
kududuk
kusujud
kuhikmati cakrawala
kucari Dia
ternyata terselip di diri
tersembunyi di bilik hati

Thursday, March 29, 2007

Hujan Reda

Hujan baru saja reda
mentari muncul
terik
meski dingin menyergap
dan
manusia berduyun-duyun
mengejar bayangannya

Hujan baru saja reda
mentari berganti rembulan
terang digantikan gelap
ramai berganti sepi
dan
manusia beranjak pulang
tenggelam
dalam kesibukannya sendiri

sementara
cakrawala didalam hati
melambai-lambai
terus memanggil
meski
hanya sebagian saja
menyadarinya

Thursday, March 22, 2007

Ottawa Spring 07

Putih awalnya
sepintas luluh menjadi air
menggenang
lantas sirna ditelan bumi
untuk kemudian
hijau adanya

Dulu,
tiada batang kokoh
lantas tumbuh
menguat dan menunjuk keudara
sepintas menggapai langit
rindang
gugur
pucuk datang
akan rindang kembali
lantas gugur datang
tiada abadi

Monday, March 12, 2007

Persimpangan (3)

Baru saja usai berbuka
ketika berpuasa
berbuka kecil, tanpa menunggu
waktu berbuka

Jika hidup adalah berpuasa
maka, berbuka kecil adalah
penganan hidup setiap detiknya

jika hidup adalah ibarat berpuasa
tugas kita yang utama adalah
merawatnya, menahannya dan menjaganya
berbuka-berbuka kecil

hingga sampai berbuka yang sebenarnya

Tuesday, February 06, 2007

Persimpangan (2)

Ketika itu,
dingin menyergap
benak sibuk menghitung
hati penuh dengan asa
tubuh ringkih semakin senja

Ketika itu,
sunyi menyelimuti diri
ingatan melayang
hati terbang
jasmani merintih kelelahan

ketika itu,
sepi hadir
akal sehat terjerembab dunia
menampung keluhan, juga kegelisahan
hati menjadi diam tapi terbang
sujud bersemayam di ujung cakrawala-Nya

PERSIMPANGAN

Manusia menghabiskan usia
mengurai cita-cita
mendaftar keinginan
mengurai kehendak
hingga berjuta-juta
tak tertampung diri
dan lupa, bahwa waktu terbatas

Manusia mengeja diri
menuai bayangan
mencapai semu
membangun rumah pasir
tapi, manusia alpa
membawa bekal hidupnya kemudian

Manusia mengejar mimpi
meraih kehendak-kehendak diri
seakan lupa
jika hidup diatur Kehendak-Nya semata
tapi manusia tak tunduk kehendak-Nya
hingga nestapa diterimanya