Powered By Blogger

Monday, October 13, 2014

Menyoal Housing Affordability

Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia. Disamping pakaian dan pangan. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian dapat dipastikan akan selalu ada. Bahkan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tak heran, pasar hunian Indonesia mengalami kekurangan pasokan (Backlog) yang fantastis.
Sampai dengan tahun ini saja, Indonesia diprediksi mengalami kekurangan pasokan hunian sebanyak 15 juta unit. Kondisi ini mendorong sektor properti menggeliat. Jika dahulu, konsumen fokus kepada pembelian jenis rumah tapak (landed house). Sekarang, apartemen pun laris manis menjadi pilihan konsumen. Besarnya peluang ini memicu para pengembang – baik swasta maupun BUMN -- berlomba menawarkan kawasan hunian baru. Bahkan beberapa BUMN, seperti berlomba membentuk unit-unit usaha baru yang khusus menggarap sektor ini.
Tingginya minat pembeli yang dibarengi dengan terbatasnya pasokan, secara otomatis mengerek harga beli. Di satu sisi, kondisi tersebut membawa kabar gembira kepada para investor karena akan memberikan keuntungan berlipat. Namun di sisi lain, fenomena naiknya harga properti ini memberi dampak terhadap penurunan kualitas hidup. Masyarakat atau calon pembeli, ‘terpaksa’ harus merogoh kocek lebih dalam untuk menyediakan down-payment atau uang muka kredit rumah sehingga menghalangi kemampuan calon konsumen terutama first-time buyers untuk membeli hunian (Sachs, 2014).
Akan tetapi, asumsi tersebut seperti terbantahkan jika merujuk pada hasil Survey yang dilakukan oleh pengelola portal khusus property (www.rumah123.com) beberapa waktu lalu. Berdasarkan survey, 48% responden menyatakan siap menyediakan Rp 300 juta rupiah untuk membeli hunian. Persentase ini dapat dikatakan lumayan tinggi. Hanya saja, calon konsumen harus berburu dengan cerdik dalam memilih dan memilah lokasi hunian.
Misalnya saja, untuk calon pembeli dari kawasan Jabodetabek, peluang untuk memiliki hunian layak di dalam kota dapat dipastikan hampir mustahil. Rumah-rumah dikisaran harga itu berada di pinggiran kota. Konsekwensinya, konsumen harus mengeluarkan biaya ekstra seperti transportasi plus ‘ongkos’ stamina dan waktu tempuh rumah-kantor. Kecuali jika lokasi hunian dapat dijangkau public transportation seperti commuter line.
Selain itu, saat ini calon konsumen juga dapat memilih apartemen sebagai alternative hunian. Menetap di apartemen memiliki keunggulan karena dapat menghemat tenaga, waktu dan ongkos transportasi. Hanya saja, harga apartemen di kawasan Jabodetabek juga sudah mulai merambat naik. Tetapi jika sabar berburu, konsumen masih akan menemukan apartemen dengan harga di bawah Rp 500 juta di kawasan ini. Terutama di secondary market.

Affordability
Tingginya minat dan besarnya perhatian berbagai pihak terhadap ketersediaan hunian, mendatangkan optimism terhadap perkembangan sektor properti kita. Dibandingkan dengan pasar properti di Negara-negara maju yang masih dirundung lesu, pasar properti Indonesia menjanjikan harapan.  
Pertanyaan yang kerap muncul ke permukaan adalah bagaimana dengan kemampuan daya beli konsumen properti di Indonesia. Dengan kata lain, apakah fenomena tentang pesatnya perkembangan properti kita, diimbangi pula dengan meningkatnya “keterjangkauan pembelian hunian konsumennya” (housing affordability).
Dalam dunia properti, indikator yang acapkali digunakan untuk mengukur housing affordability adalah apa yang dikenal dengan istilah “the median multiple”. Indikator ini merupakan hasil pembagian dari harga rata-rata hunian dengan pendapatan rumah tangga tahunan sebelum pajak. Misalkan saja, jika harga rata-rata hunian di Indonesia Rp 300 juta dan pendapatan tahunan rumah tangga Rp 60 juta (Rp 5 juta/bulan), maka angka housing affordability adalah Rp 300 juta dibagi Rp 60 juta yakni 5 (lima).
Berdasarkan studi yang telah berlangsung bertahun-tahun oleh banyak ekonom, disimpulkan bahwa apabila satu negara atau kawasan memiliki indicator of the median multiple-nya lebih kecil sama dengan 3 (tiga) maka indikatornya dapat disebut ‘hunian terjangkau’ (affordable housing).
Nah, sebaliknya, jika indikatornya lebih dari ambang batas tiga, maka dapat disimpulkan bahwa harga hunian tersebut mencerminkan kondisi yang ‘kurang, tidak atau belum terjangkau’ oleh konsumen. Dengan kata sederhana, harga hunian yang ideal dan terjangkau sesungguhnya tidak boleh melebihi tiga kali lipat dari pendapatan tahunan seseorang (Sachs, 2014).
Pertanyaan menarik lanjutan adalah bagaimana mungkin konsumen dapat hidup  layak dan nyaman ketika indikator hunian media multiple-nya melebihi ambang batas. Tentu saja, jawabannya tunggal yakni melalui pengorbanan konsumen. Meroketnya harga hunian menyebabkan standard of living konsumen menurun karena uang yang seharusnya dibelanjakan untuk barang dan jasa (goods and services) menjadi semakin berkurang, karena dialokasikan lebih besar untuk tempat tinggal.
Selain itu, dengan melakukan pembelian pada harga yang terlalu tinggi, konsumen properti juga sesungguhnya telah menempatkan diri pada potensi resiko kehilangan rumah itu sendiri. Sebagai akibat dari peningkatan biaya tak terduga, kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, atau naiknya tingkat bunga kredit yang menyebabkan berlipatnya hutang kredit ke bank. Bunga kredit hunian di Indonesia termasuk mahal karena rata-rata ditawarkan 2% diatas bunga Bank Sentral.

Oleh karena itu, sikap hati-hati dan bijaksana amat diperlukan dalam membeli dan memilih hunian di pasar properti seperti ini. Setiap orang memiliki parameter housing affordability tersendiri dengan disesuaikan penghasilan dan aneka kebutuhan lainnya. Alih-alih memberikan kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup dengan memiliki hunian sendiri, malahan yang terjadi adalah membebani hidup rumah tangga serta menurunkan kenyamanan. Jangan sampai terjadi demikian.***   

Dimuat di SKH Kontan, 18 September 2014 

Memprioritaskan Pencegahan Korupsi

Ketika SDA ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait pengelolaan dana haji, ingatan melayang kepada KH Mustofa Bisri. Dalam tweet-nya, kyai kharismatis NU ini pernah menulis, ““Aku sangat anti korupsi dan berpendapat koruptor harus dihukum seberat-beratnya; tapi aku tidak merasa gembira jika ada yang tersangka korupsi “.
Ucapan ini amat menyentuh dan dalam maknanya. Pendapat ini sepertinya diamini oleh begitu banyak orang. Bukan karena masyarakat bersimpati terhadap para tersangka korupsi, tapi lebih kepada penyesalan mengapa harus terus terjadi korupsi. Pikiran awam ditohok begitu banyak ketidak-mengertian. Begitu sulitkah memberantas korupsi? Sebegitu banyakkah orang “bercita-cita” menjadi koruptor? Sungguh sulitkah mencegah korupsi ? separah itukah kondisi korupsi negeri ini sehingga amat sulit di-sirna-kan? So, What went wrong?
Di negeri manapun, korupsi adalah momok mengkhawatirkan. Tak ada satupun negara, kebal dari korupsi. Skalanya saja yang berbeda. Isu ini begitu menyita perhatian. Hampir sepadan gaungnya dengan isu pemberantasan kemiskinan. Tak heran, komunitas internasional mencoba bergerak lebih jauh dan sistematis untuk memerangi korupsi. Bahkan, melalui organisasi multilateral seperti OECD, UN, World Bank dan lainnya, langkah maupun rekomendasi disusun dan dipadukan.  
Catat saja, sejak tahun 1998 sampai 2011, 38 negara meratifikasi the OECD’s anti-bribery convention. Pada akhir tahun 2005, giliran PBB menelurkan the UN Convention against corruption. Tak mau ketinggalan, World Bank meluncurkan World Bank Group Engagement on Governance and Anti Corruption (Olken and Pande, 2011). Toh, korupsi masih terjadi.
Mungkin, saking jengkelnya dengan maraknya korupsi maka secara sinis, Shabir dan Anwar (2011) menyebut bahwa korupsi itu muncul, terlihat dan terjadi ketika institusi bernama pemerintah didirikan dan dilahirkan. Tentu saja, anggapan seperti ini terlalu berlebihan. Institusi dan administrasi pemerintahan tak bisa sepenuhnya disalahkan.
Di Indonesia sendiri, perasaan jengkel yang berpadu dengan semangat pemberantasan korupsi telah melahirkan KPK. Budayawan Emha Ainun Nadjib pernah berujar bahwa KPK ini ibarat pemain sepakbola cadangan. Ia “dipaksa” turun bermain, karena para pemain inti tidak – atau kurang – bermain optimal. Jika sejak dulu para pemain inti bermain cantik membobol “gawang korupsi”, KPK tak perlu dilahirkan.
Sayangnya, setelah lebih dari 1 dekade para pemain cadangan ‘menari-nari’ di lapangan korupsi, para pemain inti masih terlihat kurang gairah menjadi anggota kesebelasan utama. Para pemain inti seperti menikmati duduk di bangku cadangan. Entah karena kepiawaian pemain cadangan mempertontonkan kemampuannya atau karena pemain inti yang kurang optimal bermain baik dan masih dihinggapi perasaan sungkan birokrasi kesebelasan pemerintahan.
Perasaan ewuh-pakewuh tak bisa dipandang sepele. Hal ini kerap-kali menahan laju dan kelincahan para pemain inti. Ketergantungan dan kesungkanan untuk bermain secara lugas terlihat jelas. Contoh mutakhir adalah penanganan kasus Videotron yang melibatkan anak menteri. Dalam persepsi publik, pemain inti terlihat seperti ragu bertindak. Untung saja, terdakwa yang dikorbankan dan Majelis Hakim berteriak.
Namun demikian, terlepas dari semua tantangan pemberantasan korupsi yang ada. Sesungguhnya ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar penindakan korupsi. Strategi penindakan yang berdiri sendiri, dengan tujuan menimbulkan efek jera, ternyata belum maksimal. Penetapan tersangka terus terjadi. Penjara, denda dan penyitaan tak membuat koruptor gentar. Bukan berarti strategi penindakan tidak optimal, tapi harus dikombinasikan dengan strategi pencegahan. Secara administrasi dan institusi, Negara ini sudah amat lengkap untuk mensukseskan program pencegahan korupsi.
Korupsi di tingkat Kementerian, tak perlu berujung pada kerugian uang Negara dan penjara. Jika saja Inspektorat Jenderal (Itjen) bertindak lebih dini. Apabila Itjen menerapkan audit, pengawasan dan pemeriksaan rutin dengan benar, temuan akan segera dikoreksi. Sayangnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa solidaritas satu corps sering membuat tim itjen memilih “kompromi”. Ujungnya hanya menulis “rekomendasi” atas ‘temuan-temuan’ saja.
Kalaupun penyimpangan atau kesalahan masih lolos di tingkat Itjen, masih ada BPKP. Lembaga ini cukup powerful karena hanya tunduk terhadap Presiden. Sehingga, lembaga ini steril dari ikatan-ikatan satu korps yang meninabobokan para pelaku korupsi. Saat ini, para auditor di BPKP ini juga bisa diandalkan. Syaratnya, mereka tidak perlu diintervensi atau diarahkan untuk ‘memaafkan’ para penyimpang on behalf of the so called government’s team.
Apabila masih lolos di level BPKP, maka masih ada the Supreme Audit Institution yakni BPK yang bisa bergerak serentak. Inilah benteng terakhir pencegahan korupsi. Lembaga ini tak terikat erat dan tunduk kepada Presiden/Pemerintahan. Pimpinannya diseleksi dan dipilih DPR. BPK hanya bertanggung-jawab kepada publik dalam melakukan tugasnya melalui anggota parlemen. Kinerja BPK dan BPKP dapat diandalkan. Audit investigatif mengenai Kasus Century misalnya, layak diapresiasi.

Diluar lembaga pencegahan diatas, Negara juga dilengkapi dengan PPATK. Setiap transaksi bisa diawasi, direkam dan diperiksa. Ketika ada transaksi yang mencurigakan dan diluar kewajaran, PPATK bisa segera bertindak dan mencegah kerusakan lebih parah. Tindakan pencegahan harus menjadi prioritas ke depan. Sehingga tak perlu lagi menambah koruptor. Beramai-ramai antri di pengadilan tipikor. Menyesaki penjara yang tidak seberapa luas itu. Bukankah lebih baik mencegah daripada menindak? Mencegah korupsi tak hanya berarti menyelamatkan uang Negara, tapi sekaligus melindungi warga negaranya dari jebakan korupsi, bukan?***

Dimuat di SKH Kontan, 26 Mei 2014