Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia. Disamping
pakaian dan pangan. Oleh karena itu, kebutuhan akan hunian dapat dipastikan akan
selalu ada. Bahkan cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Tak heran, pasar
hunian Indonesia mengalami kekurangan pasokan (Backlog) yang fantastis.
Sampai dengan tahun ini saja, Indonesia diprediksi mengalami
kekurangan pasokan hunian sebanyak 15 juta unit. Kondisi ini mendorong sektor
properti menggeliat. Jika dahulu, konsumen fokus kepada pembelian jenis rumah
tapak (landed house). Sekarang,
apartemen pun laris manis menjadi pilihan konsumen. Besarnya peluang ini memicu
para pengembang – baik swasta maupun BUMN -- berlomba menawarkan kawasan hunian
baru. Bahkan beberapa BUMN, seperti berlomba membentuk unit-unit usaha baru
yang khusus menggarap sektor ini.
Tingginya minat pembeli yang dibarengi dengan terbatasnya pasokan,
secara otomatis mengerek harga beli. Di satu sisi, kondisi tersebut membawa
kabar gembira kepada para investor karena akan memberikan keuntungan berlipat.
Namun di sisi lain, fenomena naiknya harga properti ini memberi dampak terhadap
penurunan kualitas hidup. Masyarakat atau calon pembeli, ‘terpaksa’ harus
merogoh kocek lebih dalam untuk menyediakan down-payment
atau uang muka kredit rumah sehingga menghalangi kemampuan calon konsumen
terutama first-time buyers untuk
membeli hunian (Sachs, 2014).
Akan tetapi, asumsi tersebut seperti terbantahkan jika merujuk
pada hasil Survey yang dilakukan oleh pengelola portal khusus property (www.rumah123.com) beberapa waktu lalu. Berdasarkan
survey, 48% responden menyatakan siap menyediakan Rp 300 juta rupiah untuk
membeli hunian. Persentase ini dapat dikatakan lumayan tinggi. Hanya saja,
calon konsumen harus berburu dengan cerdik dalam memilih dan memilah lokasi
hunian.
Misalnya saja, untuk calon pembeli dari kawasan Jabodetabek,
peluang untuk memiliki hunian layak di dalam kota dapat dipastikan hampir
mustahil. Rumah-rumah dikisaran harga itu berada di pinggiran kota.
Konsekwensinya, konsumen harus mengeluarkan biaya ekstra seperti transportasi
plus ‘ongkos’ stamina dan waktu tempuh rumah-kantor. Kecuali jika lokasi hunian
dapat dijangkau public transportation
seperti commuter line.
Selain itu, saat ini calon konsumen juga dapat memilih
apartemen sebagai alternative hunian. Menetap di apartemen memiliki keunggulan
karena dapat menghemat tenaga, waktu dan ongkos transportasi. Hanya saja, harga
apartemen di kawasan Jabodetabek juga sudah mulai merambat naik. Tetapi jika
sabar berburu, konsumen masih akan menemukan apartemen dengan harga di bawah Rp
500 juta di kawasan ini. Terutama di secondary
market.
Affordability
Tingginya minat dan besarnya perhatian berbagai pihak
terhadap ketersediaan hunian, mendatangkan optimism terhadap perkembangan sektor
properti kita. Dibandingkan dengan pasar properti di Negara-negara maju yang
masih dirundung lesu, pasar properti Indonesia menjanjikan harapan.
Pertanyaan yang kerap muncul ke permukaan adalah bagaimana
dengan kemampuan daya beli konsumen properti di Indonesia. Dengan kata lain,
apakah fenomena tentang pesatnya perkembangan properti kita, diimbangi pula
dengan meningkatnya “keterjangkauan pembelian hunian konsumennya” (housing affordability).
Dalam dunia properti, indikator yang acapkali digunakan untuk
mengukur housing affordability adalah
apa yang dikenal dengan istilah “the
median multiple”. Indikator ini merupakan hasil pembagian dari harga
rata-rata hunian dengan pendapatan rumah tangga tahunan sebelum pajak. Misalkan
saja, jika harga rata-rata hunian di Indonesia Rp 300 juta dan pendapatan
tahunan rumah tangga Rp 60 juta (Rp 5 juta/bulan), maka angka housing affordability adalah Rp 300 juta
dibagi Rp 60 juta yakni 5 (lima).
Berdasarkan studi yang telah berlangsung bertahun-tahun oleh banyak
ekonom, disimpulkan bahwa apabila satu negara atau kawasan memiliki indicator of the median multiple-nya
lebih kecil sama dengan 3 (tiga) maka indikatornya dapat disebut ‘hunian
terjangkau’ (affordable housing).
Nah, sebaliknya, jika indikatornya lebih dari ambang batas tiga,
maka dapat disimpulkan bahwa harga hunian tersebut mencerminkan kondisi yang ‘kurang,
tidak atau belum terjangkau’ oleh konsumen. Dengan kata sederhana, harga hunian
yang ideal dan terjangkau sesungguhnya tidak boleh melebihi tiga kali lipat
dari pendapatan tahunan seseorang (Sachs, 2014).
Pertanyaan menarik lanjutan adalah bagaimana mungkin konsumen
dapat hidup layak dan nyaman ketika indikator
hunian media multiple-nya melebihi ambang batas. Tentu saja, jawabannya tunggal
yakni melalui pengorbanan konsumen. Meroketnya harga hunian menyebabkan standard of living konsumen menurun
karena uang yang seharusnya dibelanjakan untuk barang dan jasa (goods and services) menjadi semakin
berkurang, karena dialokasikan lebih besar untuk tempat tinggal.
Selain itu, dengan melakukan pembelian pada harga yang
terlalu tinggi, konsumen properti juga sesungguhnya telah menempatkan diri pada
potensi resiko kehilangan rumah itu sendiri. Sebagai akibat dari peningkatan
biaya tak terduga, kehilangan pekerjaan, jatuh sakit, atau naiknya tingkat
bunga kredit yang menyebabkan berlipatnya hutang kredit ke bank. Bunga kredit
hunian di Indonesia termasuk mahal karena rata-rata ditawarkan 2% diatas bunga
Bank Sentral.
Oleh karena itu, sikap hati-hati dan bijaksana amat
diperlukan dalam membeli dan memilih hunian di pasar properti seperti ini.
Setiap orang memiliki parameter housing
affordability tersendiri dengan disesuaikan penghasilan dan aneka kebutuhan
lainnya. Alih-alih memberikan kenyamanan dan peningkatan kualitas hidup dengan
memiliki hunian sendiri, malahan yang terjadi adalah membebani hidup rumah
tangga serta menurunkan kenyamanan. Jangan sampai terjadi demikian.***
Dimuat di SKH Kontan, 18 September 2014